Latest News

Stie-Mediasi Perbankan Sebagai Wujud Pemberian Nasabah Bank By (Maria Eki Setianti)

Artikel Hukum Bisnis
Mediasi Perbankan sebagai wujud Perlindungan Nasabah Bank
 
I. Pendahuluan
Bank sebagai tubuh perjuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dan menjalankan usahanya terutama dari dana masyarakat dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat. Selain itu, bank juga menawarkan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Dengan demikian ada dua peranan penting yang dimainkan oleh bank yaitu sebagai forum penyimpan dana masyarakat dan sebagai forum penyedia dana bagi masyarakat dan atau dunia usaha. 
 
Dengan demikian Perbankan mempunyai fungsi penting dalam perekonomian negara.[1] Perbankan mempunyai fungsi utama sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat menurut asas kepercayaan dari masyarakat. Apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat akan merasa aman untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan demikian, bank menanggung risiko reputasi atau reputation risk yang besar. Bank harus selalu menjaga tingkat kepercayaan dari nasabah atau masyarakat biar menyimpan dana mereka di bank, dan bank sanggup menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan perekonomian bangsa.
Dalam dunia perbankan, nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan. Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan jasa perbankan, berada pada dua posisi yang sanggup bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada.[2] Dilihat dari sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung deposan, maupun pembeli surat berharga, maka pada ketika itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur.
Dari semua kedudukan tersebut, intinya nasabah merupakan konsumen dari pelaku perjuangan yang menyediakan jasa di sektor perjuangan perbankan.
Fungsi forum perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana membawa konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku perjuangan dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah, mungkin saja terjadi friksi yang apabila tidak segera diselesaikan sanggup bermetamorfosis sengketa antara nasabah dengan bank.
Timbulnya friksi tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu:[3]
  1. Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank;
  2. Pemahaman nasabah terhadap acara dan produk serta jasa perbankan yang masih kurang;
  3. Ketimpangan kekerabatan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana;
  4. Tidak adanya saluran memadai untuk memfasilitasi penyelesaian friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Perlindungan nasabah merupakan tantangan perbankan yang besar lengan berkuasa secara eksklusif terhadap sebagian besar masyarakat. Oleh lantaran itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi perbankan dan Bank Indonesia untuk membuat standar yang terperinci dalam menawarkan proteksi kepada nasabah.
 

II.         Perlindungan Nasabah

Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan, proteksi konsumen baginya merupakan suatu tuntutan dihentikan diabaikan begitu saja.
Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia perbankan bersandar kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.[4]
Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan jasa perbankan, berada pada dua sisi yang sanggup bergantian sesuai dengan sisi mana berada. Dilihat pada sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung, deposan maupun pembeli surat berharga (obligasi atau commercial paper) maka pada ketika itu nasabah berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dalam pelayanan jasa perbankan lainnya menyerupai dalam pelayanan bank garansi, penyewaan save depostie box, transfer uang, dan pelayanan lainnya, nasabah mempunyai kedudukan yang berbeda pula. Tetapi dari semua kedudukan tersebut intinya nasabah merupakan konsumen dari pelaku perjuangan yang menyediakan jasa di sektor perbankan[5].
Fokus masalah proteksi nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur kekerabatan antara bank dengan nasabah sanggup terwujud dari suatu perjanjian, baik perjanjian yang berbentuk sertifikat di bawah tangan maupun dalam bentuk otentik. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk proteksi bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilaksanakan antara bank dengan nasabah telah dibakukan dengan suatu perjanjian baku[6].
Sisi lain yang menjadi fokus proteksi konsumen dalam sektor jasa perbankan, yaitu pelayanan di bidang perkreditan. Hal-hal yang menjadi perhatian untuk proteksi konsumen, yaitu pada proses yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang dipakai dalam dukungan krdit tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu ketika pengikatan aturan antara bank dengan nasabah dimana secara aturan biasanya menyangkut dua macam pengikatan berupa: perjanjian kredit dan perjanjian komplemen yakni perjanjian mengikuti perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan[7].
Lembaga perbankan ialah forum yang mengandalkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian guna tetap mengekalkan kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga, ataupun oknumnya yang tidak bertanggungjawab, dan merusak sendi kepercayaan masyarakat.
Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas moneter mempunyai peranan yang besar dalam perjuangan melindungi, dan menjamin biar nasabah tidak mengalami kerugian akhir tindakan bank yang salah. Hal-hal yang menyangkut dengan perjuangan proteksi nasabah diantaranya berupa laporan dan data-data yang merupakan materi informasi.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan proteksi terhadap kepentingan nasabah dalam hubungannya dengan bank.
Berbagai regulasi dalam bidang perbankan mengenai proteksi nasabah bank diantaranya ialah Penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 ihwal “Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan PBI No. 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 ihwal “Penyelesaian Pengaduan Nasabah” dan PBI No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 ihwal “Media Perbankan”.
Hal ini menunjukkan  bahwa pemerintah melalui Bank Indonesia mulai memperhatikan kepentingan nasabah dalam konteks proteksi nasabah bank yang  sebelumnya cenderung terabaikan, baik oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ihwal perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 ihwal Perbankan maupun tidak optimalnya pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ihwal Perlindungan Konsumen yang mensyaratkan adanya keseimbangan proteksi kepentingan konsumen dan pelaku perjuangan sehingga tercipta perekonomian yang sehat, dalam konteks ini termasuk dalam kekerabatan antara bank sebagai pelaku usaha  dengan nasabahnya.
 Mengingat pentingnya proteksi nasabah tersebut, Bank Indonesia menetapkan upaya proteksi nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang terdiri dari enam pilar, bersifat menyeluruh dan menawarkan arah, bentuk dan tatanan pada industri perbankan untuk rentang waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan.
Arah kebijakan pengembangan industri perbankan tersebut dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna membuat kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Enam pilar dalam API adalah:
  1. Struktur perbankan yang sehat
  2. Sistim pengaturan yang efektif
  3. Sistim pengawasan yang independen dan efektif
  4. Industri perbankan yang kuat
  5. Infrastruktur pendukung yang mencukupi
  6. Perlindungan Konsumen
Upaya proteksi nasabah dalam Pilar ke VI API dituangkan dalam empat aspek yang terkait satu sama lain dan secara bantu-membantu akan sanggup meningkatkan proteksi dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Empat aspek tersebut adalah[8]:
1.  Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah;
2.  Pembentukan forum mediasi perbankan;
3.  Penyusunan standar transparansi gosip produk, dan
4.  Peningkatan edukasi untuk nasabah.
Program penyusunan mekanisme pengaduan nasabah di bank dan acara pembentukan forum mediasi independen ditujukan untuk mengatasi permasalahan antara nasabah dengan bank yang ketika ini sudah terjadi, sedangkan acara penyusunan standar transparansi gosip produk perbankan ditujukan sebagai sarana awal untuk mencegah timbulnya permasalahan antara nasabah dengan bank. Khusus untuk acara edukasi nasabah, pelaksanaannya dirasakan perlu diperluas hingga meliputi mereka yang belum dan akan menjadi nasabah bank biar pada ketika pertama kali bekerjasama dengan bank para calon nasabah tersebut sudah mempunyai gosip yang cukup mengenai kegiatan perjuangan serta produk dan jasa bank.
Edukasi masyarakat di bidang perbankan intinya merupakan dukungan gosip dan pemahaman kepada masyarakat mengenai fungsi dan kegiatan perjuangan bank, serta produk dan jasa yang ditawarkan bank.  Pemberian Edukasi ini diharapkan sanggup memfasilitasi dukungan gosip yang cukup kepada masyarakat sebelum mereka melaksanakan interaksi dengan bank. Dengan demikian akan terhindar adanya kesenjangan gosip pada pemanfaatan produk dan jasa perbankan yang sanggup menimbulkan timbulnya permasalahan antara bank dengan nasabah di kemudian hari.
 

III.    Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

Proses mediasi perbankan merupakan kelanjutan dari pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas penanganan dan penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan kegiatan perjuangan perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak sanggup terealisasi dengan baik sehingga mengakibatkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah.
Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di aneka macam media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui aneka macam media tersebut sanggup menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada forum perbankan.
Untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank Indonesia menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank.
 Tetapi Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini tidak selalu sanggup memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi mengakibatkan sengketa antara nasabah dengan bank.
Dalam praktek dikenal aneka macam bentuk penyelesaian sengketa perdata menyerupai litigasi, arbitrase dan/atau Mediasi. Namun, pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih banyak menentukan penyelesaian melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik melaksanakan tuntutan secara perdata maupun secara pidana. Namun terdapat banyak hambatan yang sering dihadapi.
Kendala tersebut antara lain lamanya penyelesaian perkara, serta putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya unified legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung[9].
Oleh lantaran itu, diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya ialah arbitrase dan mediasi menyerupai yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999. Pengaturan Mediasi di pengadilan diatur dalam Perma No.2 tahun 2003. Sedangkan Mediasi Perbankan diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Pada PBI No.8/5/PBI/2006 ihwal Mediasi Perbankan dinyatakan bahwa hingga dengan final tahun 2007 pelaksanaan fungsi mediasi perbankan akan dilakukan oleh Bank Indonesia.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006, maka yang dimaksud dengan Mediasi Perbankan ialah alternatif penyelesaian sengketa antara Nasabah dan Bank yang tidak mencapai penyelesaian yang melibatkan perantara untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.
Hal-hal yang diatur dalam Mediasi Perbankan adalah:
1.  Nasabah atau perwakilan nasabah sanggup mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi ke BI apabila nasabah merasa tidak puas atas penyelesaian pengaduan nasabah;
2.  Sengketa yang sanggup diajukan penyelesaiannya ialah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan yang mempunyai tuntutan finansial paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Nasabah tidak sanggup mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh tuntutan immaterial;
3.  Pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh hari) kerja ketika tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah;
4.  Pelaksaan proses mediasi semenjak ditandatanganinya perjanjian mediasi samapi dengan penandatanganan Akta Kesepakatan oleh para pihak dilaksanakan dalam waktu 30 hari kerja dan sanggup diperpanjang hingga dengan 30 hari berikutnya menurut kesepakatan nasabah dan bank;
5.  Akta kesepakatan sanggup memuat menyeluruh, kesepakatan sebagian, atau tidak tercapainya kesepakatan atau kasus yang disengketakan.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya bisa mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat mediasi sanggup dirasakan. Beberapa laba mediasi ialah sebagai berikut:
1.  Mediasi sanggup menuntaskan sengketa dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan proses beracara di Pengadilan atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak diharapkan somasi ataupun biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya lebih murah
2.  Mendorong terciptanya iklim yang aman bagi para pihak yang bersengketa tetap menjaga kekerabatan kerjasama mereka yang sempat terganggu akhir terjadinya persengketaan diantara mereka.
3.  Proses mediasi lebih bersifat informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.
 

IV.         Lembaga Mediasi Perbankan Independen di Indonesia

Sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 PBI No 8/5/PBI/2006, yang membentuk forum mediasi perbankan independen ialah asosiasi perbankan. Asosiasi perbankan yang membentuk forum mediasi perbankan independen sanggup terdiri dari adonan asosiasi perbankan untuk menjaga independensinya. Selain sanggup pula dilakukan perekrutan dari kalangan bankir.
Bank Indonesia (BI) harus mewajibkan seluruh bank untuk menjadi anggota dari forum mediasi perbankan. Agar mempunyai kekuatan aturan mengikat maka BI perlu membuat PBI ihwal kewajiban Bank menjadi anggota forum mediasi. Kemudian untuk menjaga kualitas dari forum mediasi perbankan ini, maka BI sanggup memberi pengakuan pada forum mediasi perbankan indonesia tersebut. Lembaga Mediasi mempunyai kewajiban melaporkan secara bersiklus pada BI mengenai sengketa yang pernah dimediasikan.
Kemudian dari laporan tersebut BI sanggup mengevaluasi kinerja dari forum mediasi perbankan indpendent tersebut dan menawarkan akreditasinya. Untuk mekanisme akreditasi, maka BI perlu membentuk PBI ihwal akreditasi.
Dalam Lembaga mediasi ini harus ada mediator  independen yang sanggup menawarkan saran sesuai dengan profesinya masing-masing, contohnya ada konflik antara nasabah dengan bank mengenai masalah hukum, maka harus ada seorang perantara yang jago di bidang aturan perbankan.
Kemudian forum ini harus berfungsi menyerupai arbitrase sehingga keputusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh lantaran itu, hasil dari kesepakatan kedua belah pihak kemudian didaftarkan pada Pengadilan negeri biar mempunyai kekuatan hokum mengikat.
Dalam mendirikan mediasi perlu diadakan segmentasi mediasi perbankan biar tercipta parallel institution forum mediasi perbankan sehingga masyarakat sanggup menentukan forum mana yang mereka pilih untuk menuntaskan sengketa.
Dengan demikian pembentukan mediasi perbankan diharapkan akan menawarkan nilai positif baik bagi nasabah maupun bank, yaitu menyerupai terciptanya kepastian penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank. Melalui mediasi perbankan ini juga akan mendorong terciptanya keseimbangan kekerabatan antara posisi nasabah dengan bank.
Tetapi dalam mendirikan Lembaga Mediasi ini terdapat beberapa hambatan antara lain masalah dana. Dana yang diharapkan untuk mendirikan forum mediasi perbankan independen tersebut tentu sangat besar. Pada awalnya, forum mediasi perbankan tersebut memerlukan dana operasional. Apabila biaya ini dibebankan pada bank sebagai anggota dari forum mediasi perbankan, tentu sangat sulit. Saat ini bank di Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan konsolidasi internal untuk memenuhi modal dan sertifikasi para bankir. Hal ini menimbulkan konsentrasi modal bank diprioritaskan untuk bank itu sendiri. Dari permasalahan tersebut terdapat aliran apa tidak sebaiknya mediasi perbankan ini dijalankan oleh BI saja. Selama ini sebelum terbentuknya forum mediasi perbankan independen, mediasi perbankan dijalankan oleh BI. BI telah mempunyai sarana dan prasarana yang memadai, pendanaan yang cukup dan sumber daya berupa perantara yang memperoleh training dan sertifikasi sebagai perantara dan mempunyai latar belakang perbankan.
 

V.  Penutup

Keberadaan forum mediasi perbankan merupakan sebuah bentuk proteksi terhadap konsumen. Hal ini merupakan salah satu langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Keberadaan forum tersebut merupakan suatu terobosan menyerupai di negara lain lantaran Indonesia ingin memberdayakan nasabah perbankan dengan menawarkan proteksi kepada nasabah.
Kehadiran mediasi perbankan sangat penting. Hal ini dikarenakan perbankan merupakan forum yang sangat mengandalkan kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa bank dilandasi rasa kepercayaan. Oleh lantaran itu, kepercayaan dari masyarakat harus tetap terjaga.
Keberadaan Lembaga Mediasi independen ini akan menawarkan manfaat baik bagi nasabah maupun bank.
end note 
--------------------------- ]
Pustaka
 
”Arsitektur Perbankan Indonesia.” //www.BI.go. id/API,html>. Diakses 27 November 2007.
 
Burhanuddin Abdullah. Jalan Menuju Stabilitas Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2006)
 
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2003)
 
Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
 
Muliaman D. Hadad , “Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia,Http://www.bi.go,id, diakses tgl 19 Nov 2007
 
Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996) 
 
(MARIA EKI SETIANTI)

0 Response to "Stie-Mediasi Perbankan Sebagai Wujud Pemberian Nasabah Bank By (Maria Eki Setianti)"

Total Pageviews