ARTIKEL TENTANG ETIKA BISNIS  

 
MEMBANGUN DAN MENGEMBANGKAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN


Di Indonesia sepertinya masalah penerapan adat perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya gres hingga tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar “lips-service” belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.

Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan adat bisnis secara intensif terutama sehabis bencana krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini gampang lupa dan gampang pula memperlihatkan maaf kepada suatu kesalahan yang mengakibatkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak menurut suatu referensi yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, yaitu tidak berfungsinya praktek adat bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya masalah Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990) yaitu serupa.

Praktek penerapan adat bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau instruksi etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek adat bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam adat bisnis bahu-membahu corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh administrasi dan karyawan dalam melaksanakan kegiatan bisnis.

Secara sederhana yang dimaksud dengan adat bisnis yaitu cara-cara untuk melaksanakan kegiatan bisnis, yang meliputi seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini meliputi bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan aturan yang berlaku (legal) tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, lantaran dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.

Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :
  • • Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession
  • • Morality is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds
  • • Law refers to formal codes that permit or forbid certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.
Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laris adat kita :
  1. Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh lantaran itu dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang sanggup memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
  2. Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya mempunyai hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laris tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan mengakibatkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
  3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memperlihatkan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Dari pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memperlihatkan cara menjawab permasalahan adat dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :
  • Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?
  • Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?
  • Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?

Mengapa adat bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting ketika ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan mempunyai daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan membuat nilai (value-creation) yang tinggi, diharapkan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem mekanisme yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta adat perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Contoh masalah Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang mempunyai reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menandakan bahwa penyebab utamanya yaitu praktek adat perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya lantaran lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman banyak sekali kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, lantaran berkilat belum tentu emas.

Haruslah diyakini bahwa intinya praktek adat perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang lantaran :
  • • Akan sanggup mengurangi biaya jawaban dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
  • • Akan sanggup meningkatkan motivasi pekerja.
  • • Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
  • • Akan meningkatkan keunggulan bersaing.

Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan jawaban dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, contohnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan sanggup menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat pada umumnya perusahaan yang mempunyai peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis contohnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas yaitu aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh lantaran itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan adat perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam adat bisnis harus dituangkan kedalam administrasi korporasi yakni dengan cara :
  • • Menuangkan adat bisnis dalam suatu instruksi etik (code of conduct)
  • • Memperkuat sistem pengawasan
  • • Menyelenggarakan training (training) untuk karyawan secara terus menerus.
Ketentuan tersebut seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat banyak sekali peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya masalah Enron dan Worldcom.
Kesemuanya itu yaitu dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :
  • • Treat others as you would like them to treat you
  • • An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.

Apakah untuk masa depan adat perusahaan ini masih diharapkan ? Bennis, Spreitzer dan Cummings (2001) menjawab “ Young leaders place great value on ethics. Ethical behavior was identified as a key characteristic of the leader of the future and was thought to be sorely lacking in current leaders.”
Dan masalah Enron pun merupakan pukulan berat bagi sekolah-sekolah bisnis lantaran ternyata adat belum masuk dalam kurikulum contohnya di Harvard Business School. Sebelumnya mahasiswa hanya beranggapan bahwa “ethics as being about not getting caught rather than how to do the right thing in the first place”.

sumber: http://kolom.pacific.net.id/ind/setyanto_p._santosa/artikel_setyanto_p._santosa/membangun_dan_mengembangkan_etika_bisnis_dalam_perusahaan.html



Artikel Hukum Bisnis
Mediasi Perbankan sebagai wujud Perlindungan Nasabah Bank
 
I. Pendahuluan
Bank sebagai tubuh perjuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dan menjalankan usahanya terutama dari dana masyarakat dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat. Selain itu, bank juga memperlihatkan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Dengan demikian ada dua peranan penting yang dimainkan oleh bank yaitu sebagai forum penyimpan dana masyarakat dan sebagai forum penyedia dana bagi masyarakat dan atau dunia usaha. 
 
Dengan demikian Perbankan mempunyai fungsi penting dalam perekonomian negara.[1] Perbankan mempunyai fungsi utama sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat menurut asas kepercayaan dari masyarakat. Apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat akan merasa aman untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan demikian, bank menanggung risiko reputasi atau reputation risk yang besar. Bank harus selalu menjaga tingkat kepercayaan dari nasabah atau masyarakat semoga menyimpan dana mereka di bank, dan bank sanggup menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan perekonomian bangsa.
Dalam dunia perbankan, nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan. Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan jasa perbankan, berada pada dua posisi yang sanggup bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada.[2] Dilihat dari sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung deposan, maupun pembeli surat berharga, maka pada ketika itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur.
Dari semua kedudukan tersebut, intinya nasabah merupakan konsumen dari pelaku perjuangan yang menyediakan jasa di sektor perjuangan perbankan.
Fungsi forum perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana membawa konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku perjuangan dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah, mungkin saja terjadi friksi yang apabila tidak segera diselesaikan sanggup menjelma sengketa antara nasabah dengan bank.
Timbulnya friksi tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu:[3]
  1. Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank;
  2. Pemahaman nasabah terhadap kegiatan dan produk serta jasa perbankan yang masih kurang;
  3. Ketimpangan korelasi antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana;
  4. Tidak adanya saluran memadai untuk memfasilitasi penyelesaian friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Perlindungan nasabah merupakan tantangan perbankan yang besar lengan berkuasa secara eksklusif terhadap sebagian besar masyarakat. Oleh lantaran itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi perbankan dan Bank Indonesia untuk membuat standar yang terang dalam memperlihatkan proteksi kepada nasabah.
 

II.         Perlindungan Nasabah

Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan, proteksi konsumen baginya merupakan suatu tuntutan dihentikan diabaikan begitu saja.
Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia perbankan bersandar kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.[4]
Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan jasa perbankan, berada pada dua sisi yang sanggup bergantian sesuai dengan sisi mana berada. Dilihat pada sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung, deposan maupun pembeli surat berharga (obligasi atau commercial paper) maka pada ketika itu nasabah berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dalam pelayanan jasa perbankan lainnya menyerupai dalam pelayanan bank garansi, penyewaan save depostie box, transfer uang, dan pelayanan lainnya, nasabah mempunyai kedudukan yang berbeda pula. Tetapi dari semua kedudukan tersebut intinya nasabah merupakan konsumen dari pelaku perjuangan yang menyediakan jasa di sektor perbankan[5].
Fokus problem proteksi nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur korelasi antara bank dengan nasabah sanggup terwujud dari suatu perjanjian, baik perjanjian yang berbentuk sertifikat di bawah tangan maupun dalam bentuk otentik. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk proteksi bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilaksanakan antara bank dengan nasabah telah dibakukan dengan suatu perjanjian baku[6].
Sisi lain yang menjadi fokus proteksi konsumen dalam sektor jasa perbankan, yaitu pelayanan di bidang perkreditan. Hal-hal yang menjadi perhatian untuk proteksi konsumen, yaitu pada proses yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang dipakai dalam pertolongan krdit tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu ketika pengikatan aturan antara bank dengan nasabah dimana secara aturan biasanya menyangkut dua macam pengikatan berupa: perjanjian kredit dan perjanjian pelengkap yakni perjanjian mengikuti perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan[7].
Lembaga perbankan yaitu forum yang mengandalkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian guna tetap mengekalkan kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga, ataupun oknumnya yang tidak bertanggungjawab, dan merusak sendi kepercayaan masyarakat.
Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas moneter mempunyai peranan yang besar dalam perjuangan melindungi, dan menjamin semoga nasabah tidak mengalami kerugian jawaban tindakan bank yang salah. Hal-hal yang menyangkut dengan perjuangan proteksi nasabah diantaranya berupa laporan dan data-data yang merupakan materi informasi.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan proteksi terhadap kepentingan nasabah dalam hubungannya dengan bank.
Berbagai regulasi dalam bidang perbankan mengenai proteksi nasabah bank diantaranya yaitu Penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 wacana “Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan PBI No. 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 wacana “Penyelesaian Pengaduan Nasabah” dan PBI No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 wacana “Media Perbankan”.
Hal ini menunjukkan  bahwa pemerintah melalui Bank Indonesia mulai memperhatikan kepentingan nasabah dalam konteks proteksi nasabah bank yang  sebelumnya cenderung terabaikan, baik oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 wacana perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 wacana Perbankan maupun tidak optimalnya pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen yang mensyaratkan adanya keseimbangan proteksi kepentingan konsumen dan pelaku perjuangan sehingga tercipta perekonomian yang sehat, dalam konteks ini termasuk dalam korelasi antara bank sebagai pelaku usaha  dengan nasabahnya.
 Mengingat pentingnya proteksi nasabah tersebut, Bank Indonesia tetapkan upaya proteksi nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang terdiri dari enam pilar, bersifat menyeluruh dan memperlihatkan arah, bentuk dan tatanan pada industri perbankan untuk rentang waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan.
Arah kebijakan pengembangan industri perbankan tersebut dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna membuat kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Enam pilar dalam API adalah:
  1. Struktur perbankan yang sehat
  2. Sistim pengaturan yang efektif
  3. Sistim pengawasan yang independen dan efektif
  4. Industri perbankan yang kuat
  5. Infrastruktur pendukung yang mencukupi
  6. Perlindungan Konsumen
Upaya proteksi nasabah dalam Pilar ke VI API dituangkan dalam empat aspek yang terkait satu sama lain dan secara bahu-membahu akan sanggup meningkatkan proteksi dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Empat aspek tersebut adalah[8]:
1.  Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah;
2.  Pembentukan forum mediasi perbankan;
3.  Penyusunan standar transparansi isu produk, dan
4.  Peningkatan edukasi untuk nasabah.
Program penyusunan mekanisme pengaduan nasabah di bank dan acara pembentukan forum mediasi independen ditujukan untuk mengatasi permasalahan antara nasabah dengan bank yang ketika ini sudah terjadi, sedangkan acara penyusunan standar transparansi isu produk perbankan ditujukan sebagai sarana awal untuk mencegah timbulnya permasalahan antara nasabah dengan bank. Khusus untuk acara edukasi nasabah, pelaksanaannya dirasakan perlu diperluas hingga meliputi mereka yang belum dan akan menjadi nasabah bank semoga pada ketika pertama kali bekerjasama dengan bank para calon nasabah tersebut sudah mempunyai isu yang cukup mengenai kegiatan perjuangan serta produk dan jasa bank.
Edukasi masyarakat di bidang perbankan intinya merupakan pertolongan isu dan pemahaman kepada masyarakat mengenai fungsi dan kegiatan perjuangan bank, serta produk dan jasa yang ditawarkan bank.  Pemberian Edukasi ini diharapkan sanggup memfasilitasi pertolongan isu yang cukup kepada masyarakat sebelum mereka melaksanakan interaksi dengan bank. Dengan demikian akan terhindar adanya kesenjangan isu pada pemanfaatan produk dan jasa perbankan yang sanggup mengakibatkan timbulnya permasalahan antara bank dengan nasabah di kemudian hari.
 

III.    Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

Proses mediasi perbankan merupakan kelanjutan dari pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas penanganan dan penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan kegiatan perjuangan perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak sanggup terealisasi dengan baik sehingga menjadikan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah.
Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di banyak sekali media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui banyak sekali media tersebut sanggup menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada forum perbankan.
Untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank Indonesia tetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank.
 Tetapi Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini tidak selalu sanggup memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi menjadikan sengketa antara nasabah dengan bank.
Dalam praktek dikenal banyak sekali bentuk penyelesaian sengketa perdata menyerupai litigasi, arbitrase dan/atau Mediasi. Namun, pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih banyak menentukan penyelesaian melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik melaksanakan tuntutan secara perdata maupun secara pidana. Namun terdapat banyak hambatan yang sering dihadapi.
Kendala tersebut antara lain lamanya penyelesaian perkara, serta putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya unified legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung[9].
Oleh lantaran itu, diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya yaitu arbitrase dan mediasi menyerupai yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999. Pengaturan Mediasi di pengadilan diatur dalam Perma No.2 tahun 2003. Sedangkan Mediasi Perbankan diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Pada PBI No.8/5/PBI/2006 wacana Mediasi Perbankan dinyatakan bahwa hingga dengan final tahun 2007 pelaksanaan fungsi mediasi perbankan akan dilakukan oleh Bank Indonesia.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006, maka yang dimaksud dengan Mediasi Perbankan yaitu alternatif penyelesaian sengketa antara Nasabah dan Bank yang tidak mencapai penyelesaian yang melibatkan perantara untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.
Hal-hal yang diatur dalam Mediasi Perbankan adalah:
1.  Nasabah atau perwakilan nasabah sanggup mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi ke BI apabila nasabah merasa tidak puas atas penyelesaian pengaduan nasabah;
2.  Sengketa yang sanggup diajukan penyelesaiannya yaitu sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan yang mempunyai tuntutan finansial paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Nasabah tidak sanggup mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh tuntutan immaterial;
3.  Pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh hari) kerja ketika tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah;
4.  Pelaksaan proses mediasi semenjak ditandatanganinya perjanjian mediasi samapi dengan penandatanganan Akta Kesepakatan oleh para pihak dilaksanakan dalam waktu 30 hari kerja dan sanggup diperpanjang hingga dengan 30 hari berikutnya menurut kesepakatan nasabah dan bank;
5.  Akta kesepakatan sanggup memuat menyeluruh, kesepakatan sebagian, atau tidak tercapainya kesepakatan atau masalah yang disengketakan.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya bisa mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat mediasi sanggup dirasakan. Beberapa laba mediasi yaitu sebagai berikut:
1.  Mediasi sanggup menuntaskan sengketa dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan proses beracara di Pengadilan atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak diharapkan somasi ataupun biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya lebih murah
2.  Mendorong terciptanya iklim yang aman bagi para pihak yang bersengketa tetap menjaga korelasi kerjasama mereka yang sempat terganggu jawaban terjadinya persengketaan diantara mereka.
3.  Proses mediasi lebih bersifat informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.
 

IV.         Lembaga Mediasi Perbankan Independen di Indonesia

Sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 PBI No 8/5/PBI/2006, yang membentuk forum mediasi perbankan independen yaitu asosiasi perbankan. Asosiasi perbankan yang membentuk forum mediasi perbankan independen sanggup terdiri dari adonan asosiasi perbankan untuk menjaga independensinya. Selain sanggup pula dilakukan perekrutan dari kalangan bankir.
Bank Indonesia (BI) harus mewajibkan seluruh bank untuk menjadi anggota dari forum mediasi perbankan. Agar mempunyai kekuatan aturan mengikat maka BI perlu membuat PBI wacana kewajiban Bank menjadi anggota forum mediasi. Kemudian untuk menjaga kualitas dari forum mediasi perbankan ini, maka BI sanggup memberi pengakuan pada forum mediasi perbankan indonesia tersebut. Lembaga Mediasi mempunyai kewajiban melaporkan secara terpola pada BI mengenai sengketa yang pernah dimediasikan.
Kemudian dari laporan tersebut BI sanggup mengevaluasi kinerja dari forum mediasi perbankan indpendent tersebut dan memperlihatkan akreditasinya. Untuk mekanisme akreditasi, maka BI perlu membentuk PBI wacana akreditasi.
Dalam Lembaga mediasi ini harus ada mediator  independen yang sanggup memperlihatkan saran sesuai dengan profesinya masing-masing, contohnya ada konflik antara nasabah dengan bank mengenai masalah hukum, maka harus ada seorang perantara yang hebat di bidang aturan perbankan.
Kemudian forum ini harus berfungsi menyerupai arbitrase sehingga keputusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh lantaran itu, hasil dari kesepakatan kedua belah pihak kemudian didaftarkan pada Pengadilan negeri semoga mempunyai kekuatan hokum mengikat.
Dalam mendirikan mediasi perlu diadakan segmentasi mediasi perbankan semoga tercipta parallel institution forum mediasi perbankan sehingga masyarakat sanggup menentukan forum mana yang mereka pilih untuk menuntaskan sengketa.
Dengan demikian pembentukan mediasi perbankan diharapkan akan memperlihatkan nilai positif baik bagi nasabah maupun bank, yaitu menyerupai terciptanya kepastian penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank. Melalui mediasi perbankan ini juga akan mendorong terciptanya keseimbangan korelasi antara posisi nasabah dengan bank.
Tetapi dalam mendirikan Lembaga Mediasi ini terdapat beberapa hambatan antara lain masalah dana. Dana yang diharapkan untuk mendirikan forum mediasi perbankan independen tersebut tentu sangat besar. Pada awalnya, forum mediasi perbankan tersebut memerlukan dana operasional. Apabila biaya ini dibebankan pada bank sebagai anggota dari forum mediasi perbankan, tentu sangat sulit. Saat ini bank di Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan konsolidasi internal untuk memenuhi modal dan sertifikasi para bankir. Hal ini mengakibatkan konsentrasi modal bank diprioritaskan untuk bank itu sendiri. Dari permasalahan tersebut terdapat anutan apa tidak sebaiknya mediasi perbankan ini dijalankan oleh BI saja. Selama ini sebelum terbentuknya forum mediasi perbankan independen, mediasi perbankan dijalankan oleh BI. BI telah mempunyai sarana dan prasarana yang memadai, pendanaan yang cukup dan sumber daya berupa perantara yang memperoleh training dan sertifikasi sebagai perantara dan mempunyai latar belakang perbankan.
 

V.  Penutup

Keberadaan forum mediasi perbankan merupakan sebuah bentuk proteksi terhadap konsumen. Hal ini merupakan salah satu langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Keberadaan forum tersebut merupakan suatu terobosan menyerupai di negara lain lantaran Indonesia ingin memberdayakan nasabah perbankan dengan memperlihatkan proteksi kepada nasabah.
Kehadiran mediasi perbankan sangat penting. Hal ini dikarenakan perbankan merupakan forum yang sangat mengandalkan kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa bank dilandasi rasa kepercayaan. Oleh lantaran itu, kepercayaan dari masyarakat harus tetap terjaga.
Keberadaan Lembaga Mediasi independen ini akan memperlihatkan manfaat baik bagi nasabah maupun bank.
end note 
--------------------------- ]
Pustaka
 
”Arsitektur Perbankan Indonesia.” //www.BI.go. id/API,html>. Diakses 27 November 2007.
 
Burhanuddin Abdullah. Jalan Menuju Stabilitas Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2006)
 
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2003)
 
Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
 
Muliaman D. Hadad , “Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia,Http://www.bi.go,id, diakses tgl 19 Nov 2007
 
Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996) 
 
 
 

[1] Burhanuddin Abdullah, Jalan Menuju Stabilitas Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2006) hal 2003.
[2] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2003)., Hal 282
[3] Muliaman D. Hadad (a), “Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia,Http://www.bi.go,id, diakses tgl 19 Nov 2007
[4] M. Djumhana, Opcit, hal 282.


Nama: Malindo
 
 
 
 

  • :