Islam tiba ke Indonesia secara berangsur-angsur dan tidak sekaligus. Pada uraian ini akan dijelaskan mengenai seni administrasi dakwah dan perkembangan Islam di Indonesia. Yang niscaya Islam masuk ke Indonesia bukan dengan peperangan ataupun penjajahan. Islam berkembang dan tersebar di Indonesia justru dengan cara hening dan persuasif berkat kegigihan para ulama. Paling tidak terdapat beberapa cara yang dipergunakan dalam penyebaran Islam di Indonesia, menyerupai perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian atau budaya dan tasawuf.
A. Perdagangan.
Berdasarkan data sejarah, perdagangan merupakan media dakwah yang paling banyak dilakukan oleh para penyebar Islam di Indonesia. Hal ini sanggup kita lihat dari adanya kesibukan kemudian lintas perdagangan pada kala ke 7 M hingga ke 16 M. Jalur ini dimungkinkan alasannya ialah orang-orang Melayu telah usang menjalin kontak dagang dengan orang Arab. Apalagi sehabis berdirinya kerajaan Islam menyerupai kerajaan Islam Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramai para ulama dan pedagang Arab tiba ke Nusantara (Indonesia).
Disamping berdagang mereka juga menyiarkan agama Islam. Fakta sejarah ini sanggup diketahui berdasarkan data dan warta yang dicatat oleh Tome’Pires, bahwa seorang musafir asal Portugis menceritakan perihal penyebaran Islam antara tahun 1512 hingga tahun 1515 Masehi yang mencakup Sumatera, Kalimantan, Jawa hingga kepulauan Maluku. Ia juga menyatakan bahwa pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang ketika itu masih penganut Hindu dan Budha maupun animisme dan dinamisme. Para penyebar agama Islam berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan para mahir agama dari luar sehingga jumlah mereka semakin bertambah banyak.
Di beberapa tempat, para bupati yang ditugaskan di tempat pesisir oleh kerajaan Majapahit banyak yang kemudian memeluk Islam. Para bupati tersebut memeluk Islam bukan hanya alasannya ialah faktor politik yang sedang tidak stabil di sentra kekuasaan Majapahit, namun juga alasannya ialah faktor kekerabatan ekonomi yang baik dengan para pedagang muslim.
Hubungan dagang yang baik jadinya memperlihatkan kekuatan secara ekonomi bagi para saudagar muslim dan mengukuhkan kebaradaan mereka sebagai kawan para bupati dan penduduk setempat. Kekuatan ini memperlihatkan efek secara sosial maupun psikologis yang dengan sendirinya memudahkan agama Islam sanggup diterima oleh para bupati dan penduduk setempat. Karena pada ketika itu, hampir semua jalur strategis perdagangan internasional dikuasai oleh para pedagang muslim, maka mau tidak mau kalau para bupati ingin memajukan wilayahnya dari segi pembangunan ekonomi maka ia harus berafiliasi dengan para pedagang muslim.
B. Perkawinan.
Proses penyebaran Islam di Indonesia juga banyak dilakukan melalui ijab kabul antara para pedagang muslim dengan perempuan Indonesia. Jalur perdagangan internasional yang dikuasai oleh para pedagang muslim mengakibatkan para pedagang Islam mempunyai kelebihan secara ekonomi. Para pedagang muslim yang tertarik dengan wanitawanita Indonesia yang ingin menikah mensyaratkan supaya para perempuan tersebut harus memeluk Islam sebagai prasyarat dalam sebuah pernikahan. Karena dalam Islam tidak diperbolehkan ijab kabul dengan orang yang berbeda agama, dan para penduduk lokal pun tidak keberatan dengan prasyarat tersebut.
Melalui ijab kabul ini tidak hanya mengakibatkan penganut agama Islam semakin banyak, namun juga semakin mengukuhkan generasi-generasi Islam di Indonesia. Apalagi kalau ijab kabul terjadi antara keluarga ningrat dengan keluarga saudagar muslim, tentu akan semakin menguatkan posisi tawar mereka di masyarakat. Dari ijab kabul ini kemdian terbentuklah komunitaskomunitas muslim di Indonesia. Sebagai teladan yang sanggup dikemukakan ialah ijab kabul antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila dan Raja Brawijaya V dengan Putri Campa, dan lain-lain.
C. Pendidikan.
Proses masuknya Islam juga dilakukan melalui jalur pendidikan. Para ulama banyak yang mendirikan forum pendidikan Islam. Di forum pendidikan inilah para ulama semakin menguatkan posisi agama Islam dengan pengajaran-pengajaran keislaman. Salah satu forum pendidikan Islam yang menjadi ciri awal penyebaran Islam ialah pesantren. Istilah pesantren dipakai untuk memperlihatkan forum pendidikan yang banyak dipakai oleh ulama di Jawa dan Madura, sementara di Aceh dikenal dengan nama “dayah” dan di Minangkabau dikenal dengan istilah “Surau”.
Awalnya, pesantren (dayah/surau) ialah tempat aktivitas keagamaan yang kemudian berubah menjadi suatu forum tempat aktivitas pendidikan. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel, salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang kala ke-12 pusatpusat pendidikan di Aceh, Palembang (Sumatera), Jawa Timur dan Gowa (Sulawesi), pesantren atau dayah telah banyak menghasilkan tulisan-tulisan penting dan menarik bagi santri untuk belajar.
Sebagai sebuah forum pendidikan Islam, pesantren tidak mengenal perbedaan status sosial antara yang satu dengan lainnya, sehingga semua orang mempunyai hak yang sama untuk mendapat pendidikan. Hal inilah yang menjadi kelebihan pesantren (dayah/surau) yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu sanggup diakses oleh siapapun, alasannya ialah dalam fatwa Islam menuntut ilmu ialah suatu kewajiban baik bagi pria maupun perempuan. Dengan semakin banyaknya penganut agama Hindu dan Budha yang mencar ilmu di pesantren (dayah/surau), hal itu semakin meningkatkan jumlah masyarakat yang memeluk Islam. Dari situ kita juga memahami bahwa posisi pesantren (dayah/surau) semenjak awal Islam masuk ke Indonesia telah memainkan kiprah yang penting dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di antara forum pendidikan pesantren yang tumbuh pada masa awal Islam ialah Pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta, Surabaya, dan Pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri yang popularitasnya melampaui batas pulau Jawa hingga Maluku. Bahkan berdasarkan catatan sejarah, Sunan Giri dan para ulama lainnya pernah diundang ke Maluku untuk memperlihatkan pelajaran agama Islam. Banyak dari mereka yang menjadi guru, khatib (pengkhutbah), hakim (qadli) bahkan muadzin di Maluku. Dengan cara-cara pendidikan tersebut agama Islam terus meluas ke seluruh penjuru nusantara.
D. Tasawuf.
Para pelaku tasawuf atau sufi umumnya ialah pengembara. Mereka dengan sukarela mengajar penduduk lokal perihal banyak sekali hal. Mereka juga sangat memahami kasus para penduduk lokal dari banyak sekali sisi. Para sufi mempunyai sifat dan kecerdikan pekerti yang luhur sehingga memudahkan mereka bergaul dan memahami masyarakat.
Mereka memahami problem kemiskinan dan keterbelakangan sekaligus juga memahami kesehatan spiritual masyarakat. Mereka juga memahami hal magis yang digandrungi masyarakat penganut paham animisme dan dinamisme kala itu. Hal ini mengakibatkan para sufi bisa melihat celah yang sanggup dimasuki ajaran-ajaran Islam. Dengan tasawuf, bentuk fatwa Islam yang disampaikan kepada penduduk pribumi sanggup dengan mudahmasuk ke alam pikiran mereka. Di antara para sufi yang memperlihatkan fatwa Islam kepada masyarakat ialah Hamzah Fansury dari Aceh, Syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung dari Jawa.
E. Kesenian dan Budaya.
Para tokoh penyebar Islam mengajarkan Islam berdasarkan bahasa dan adab istiadat masyarakat setempat. Sebagian besar nama-nama mereka telah melegenda, menyerupai Walisongo. Penyebaran Islam melalui kesenian atau budaya termasuk yang paling banyak menghipnotis masyarakat, menyerupai wayang, sastra, dan banyak sekali kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan para penyebar Islam untuk menarik perhatian masyarakat, sehingga tanpa terasa mereka pun tertarik pada ajaranajaran Islam. Misalnya, Sunan Kalijaga ialah tokoh seniman wayang. Ia tidak pernah meminta bayaran dalam pertunjukan seni-nya, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat.
Meski sebagian dongeng wayang masih dipetik dari dongeng Mahabharata dan Ramayana, tetapi dalam dongeng itu disisipkan fatwa dan nama-nama hero Islam. Selain wayang, bentuk kesenian lain yang dijadikan media islamisasi ialah sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni arsitektur (seperi terlihat pada bentuk masjid-masjid peninggalan para ulama atau Wali Songo), dan seni ukir yang banyak terdapat di kediaman atau masjid-masjid peninggalan para Wali.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal seni administrasi dakwah Islam di Indonesia. Sumber Buku SKI Kelas XII MA. Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
A. Perdagangan.
Berdasarkan data sejarah, perdagangan merupakan media dakwah yang paling banyak dilakukan oleh para penyebar Islam di Indonesia. Hal ini sanggup kita lihat dari adanya kesibukan kemudian lintas perdagangan pada kala ke 7 M hingga ke 16 M. Jalur ini dimungkinkan alasannya ialah orang-orang Melayu telah usang menjalin kontak dagang dengan orang Arab. Apalagi sehabis berdirinya kerajaan Islam menyerupai kerajaan Islam Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramai para ulama dan pedagang Arab tiba ke Nusantara (Indonesia).
Disamping berdagang mereka juga menyiarkan agama Islam. Fakta sejarah ini sanggup diketahui berdasarkan data dan warta yang dicatat oleh Tome’Pires, bahwa seorang musafir asal Portugis menceritakan perihal penyebaran Islam antara tahun 1512 hingga tahun 1515 Masehi yang mencakup Sumatera, Kalimantan, Jawa hingga kepulauan Maluku. Ia juga menyatakan bahwa pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang ketika itu masih penganut Hindu dan Budha maupun animisme dan dinamisme. Para penyebar agama Islam berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan para mahir agama dari luar sehingga jumlah mereka semakin bertambah banyak.
Di beberapa tempat, para bupati yang ditugaskan di tempat pesisir oleh kerajaan Majapahit banyak yang kemudian memeluk Islam. Para bupati tersebut memeluk Islam bukan hanya alasannya ialah faktor politik yang sedang tidak stabil di sentra kekuasaan Majapahit, namun juga alasannya ialah faktor kekerabatan ekonomi yang baik dengan para pedagang muslim.
Hubungan dagang yang baik jadinya memperlihatkan kekuatan secara ekonomi bagi para saudagar muslim dan mengukuhkan kebaradaan mereka sebagai kawan para bupati dan penduduk setempat. Kekuatan ini memperlihatkan efek secara sosial maupun psikologis yang dengan sendirinya memudahkan agama Islam sanggup diterima oleh para bupati dan penduduk setempat. Karena pada ketika itu, hampir semua jalur strategis perdagangan internasional dikuasai oleh para pedagang muslim, maka mau tidak mau kalau para bupati ingin memajukan wilayahnya dari segi pembangunan ekonomi maka ia harus berafiliasi dengan para pedagang muslim.
B. Perkawinan.
Proses penyebaran Islam di Indonesia juga banyak dilakukan melalui ijab kabul antara para pedagang muslim dengan perempuan Indonesia. Jalur perdagangan internasional yang dikuasai oleh para pedagang muslim mengakibatkan para pedagang Islam mempunyai kelebihan secara ekonomi. Para pedagang muslim yang tertarik dengan wanitawanita Indonesia yang ingin menikah mensyaratkan supaya para perempuan tersebut harus memeluk Islam sebagai prasyarat dalam sebuah pernikahan. Karena dalam Islam tidak diperbolehkan ijab kabul dengan orang yang berbeda agama, dan para penduduk lokal pun tidak keberatan dengan prasyarat tersebut.
Melalui ijab kabul ini tidak hanya mengakibatkan penganut agama Islam semakin banyak, namun juga semakin mengukuhkan generasi-generasi Islam di Indonesia. Apalagi kalau ijab kabul terjadi antara keluarga ningrat dengan keluarga saudagar muslim, tentu akan semakin menguatkan posisi tawar mereka di masyarakat. Dari ijab kabul ini kemdian terbentuklah komunitaskomunitas muslim di Indonesia. Sebagai teladan yang sanggup dikemukakan ialah ijab kabul antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila dan Raja Brawijaya V dengan Putri Campa, dan lain-lain.
C. Pendidikan.
Proses masuknya Islam juga dilakukan melalui jalur pendidikan. Para ulama banyak yang mendirikan forum pendidikan Islam. Di forum pendidikan inilah para ulama semakin menguatkan posisi agama Islam dengan pengajaran-pengajaran keislaman. Salah satu forum pendidikan Islam yang menjadi ciri awal penyebaran Islam ialah pesantren. Istilah pesantren dipakai untuk memperlihatkan forum pendidikan yang banyak dipakai oleh ulama di Jawa dan Madura, sementara di Aceh dikenal dengan nama “dayah” dan di Minangkabau dikenal dengan istilah “Surau”.
Awalnya, pesantren (dayah/surau) ialah tempat aktivitas keagamaan yang kemudian berubah menjadi suatu forum tempat aktivitas pendidikan. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel, salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang kala ke-12 pusatpusat pendidikan di Aceh, Palembang (Sumatera), Jawa Timur dan Gowa (Sulawesi), pesantren atau dayah telah banyak menghasilkan tulisan-tulisan penting dan menarik bagi santri untuk belajar.
Sebagai sebuah forum pendidikan Islam, pesantren tidak mengenal perbedaan status sosial antara yang satu dengan lainnya, sehingga semua orang mempunyai hak yang sama untuk mendapat pendidikan. Hal inilah yang menjadi kelebihan pesantren (dayah/surau) yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu sanggup diakses oleh siapapun, alasannya ialah dalam fatwa Islam menuntut ilmu ialah suatu kewajiban baik bagi pria maupun perempuan. Dengan semakin banyaknya penganut agama Hindu dan Budha yang mencar ilmu di pesantren (dayah/surau), hal itu semakin meningkatkan jumlah masyarakat yang memeluk Islam. Dari situ kita juga memahami bahwa posisi pesantren (dayah/surau) semenjak awal Islam masuk ke Indonesia telah memainkan kiprah yang penting dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di antara forum pendidikan pesantren yang tumbuh pada masa awal Islam ialah Pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta, Surabaya, dan Pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri yang popularitasnya melampaui batas pulau Jawa hingga Maluku. Bahkan berdasarkan catatan sejarah, Sunan Giri dan para ulama lainnya pernah diundang ke Maluku untuk memperlihatkan pelajaran agama Islam. Banyak dari mereka yang menjadi guru, khatib (pengkhutbah), hakim (qadli) bahkan muadzin di Maluku. Dengan cara-cara pendidikan tersebut agama Islam terus meluas ke seluruh penjuru nusantara.
D. Tasawuf.
Para pelaku tasawuf atau sufi umumnya ialah pengembara. Mereka dengan sukarela mengajar penduduk lokal perihal banyak sekali hal. Mereka juga sangat memahami kasus para penduduk lokal dari banyak sekali sisi. Para sufi mempunyai sifat dan kecerdikan pekerti yang luhur sehingga memudahkan mereka bergaul dan memahami masyarakat.
Mereka memahami problem kemiskinan dan keterbelakangan sekaligus juga memahami kesehatan spiritual masyarakat. Mereka juga memahami hal magis yang digandrungi masyarakat penganut paham animisme dan dinamisme kala itu. Hal ini mengakibatkan para sufi bisa melihat celah yang sanggup dimasuki ajaran-ajaran Islam. Dengan tasawuf, bentuk fatwa Islam yang disampaikan kepada penduduk pribumi sanggup dengan mudahmasuk ke alam pikiran mereka. Di antara para sufi yang memperlihatkan fatwa Islam kepada masyarakat ialah Hamzah Fansury dari Aceh, Syaikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung dari Jawa.
E. Kesenian dan Budaya.
Para tokoh penyebar Islam mengajarkan Islam berdasarkan bahasa dan adab istiadat masyarakat setempat. Sebagian besar nama-nama mereka telah melegenda, menyerupai Walisongo. Penyebaran Islam melalui kesenian atau budaya termasuk yang paling banyak menghipnotis masyarakat, menyerupai wayang, sastra, dan banyak sekali kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan para penyebar Islam untuk menarik perhatian masyarakat, sehingga tanpa terasa mereka pun tertarik pada ajaranajaran Islam. Misalnya, Sunan Kalijaga ialah tokoh seniman wayang. Ia tidak pernah meminta bayaran dalam pertunjukan seni-nya, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat.
Meski sebagian dongeng wayang masih dipetik dari dongeng Mahabharata dan Ramayana, tetapi dalam dongeng itu disisipkan fatwa dan nama-nama hero Islam. Selain wayang, bentuk kesenian lain yang dijadikan media islamisasi ialah sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni arsitektur (seperi terlihat pada bentuk masjid-masjid peninggalan para ulama atau Wali Songo), dan seni ukir yang banyak terdapat di kediaman atau masjid-masjid peninggalan para Wali.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan perihal seni administrasi dakwah Islam di Indonesia. Sumber Buku SKI Kelas XII MA. Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
0 Response to "Strategi Dakwah Islam Di Indonesia"